oleh

Pembaharuan PLTU Menjadi PLN Holding, PT PLN Perlu Perhatikan Hal Ini

PT PLN (Persero) bermaksud memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada tahun 2025 mendatang. Salah satu cara untuk melaksanakan rencana itu adalah dengan membentuk PLN holding. Namun demikian, sampai saat ini masih belum ada penjelasan detail mengenai skema pemensiunan PLTU tersebut.

Menurut Yohanes Masengi privatisasi atau penjualan PLTU kepada pihak swasta kemungkinan adalah langkah yang akan diambil pemerintah untuk mengurangi beban pembiayaan pengadopsian teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage(CCUS) dan untuk efisiensi biaya pembangkitan listrik. Untuk melakukan privatisasi PLTU, PLN akan mendirikan suatu perusahaan baru (PLN holding) yang nantinya akan memegang kendali atas PLTU-PLTU lama milik PLN.

Apabila pembentukan PLN holding ini jadi dilakukan, Yohanes Masengi berpendapat bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh PLN. Yang pertama ialah perlunya payung hukum yang jelas untuk pengadaan dan pengalihan PLTU-PLTU tersebut dari PLN kepada PLN holding hasil spin off.

“Payung hukum ini antara lain untuk penunjukan langsung dari PLN kepada PLN holding, ketentuan-ketentuan mengenai pengalihan aset-aset yang sebelumnya dimiliki oleh PLN kepada PLN holding, harga jual listrik dari PLN kepada PLN holding, dan memastikan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement) terkait bankable,” ujar Yohanes Masengi, Senin (13/9/2021).

Baca Juga  Satika Simamora Sang Pejuang Kaum Tenun Ulos Tapanuli Utara

Yohanes mengatakan bahwa perlu adanya reformasi peraturan perundangan untuk sistem penawaran PLTU-PLTU kepada swasta, apakah melalui lelang umum atau penunjukan langsung. Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa pemberian insentif juga perlu dilakukan bagi investor yang tertarik untuk ikut serta dalam pembaharuan PLTU, misalnya pemberian prioritas terhadap investor yang pertama kali mengerjakan PLTU terkait ataupun prioritas dalam mengembangkan proyek-proyek energi terbarukan lain di kemudian hari, atau pengadaan dibuat dalam bentuk bundling di awal antara PLTU milik PLN dan proyek energi terbarukan.

Baca Juga  PT Chandra Asri Petrochemical Tbk Selesaikan Rights Issue Sebesar Rp 15,5 Triliun

Pengacara yang juga telah berperan dalam pengadaan tanah untuk berbagai proyek pembangit ini menyatakan bahwa PLN juga perlu memperhatikan kejelasan skema kerja sama antara PLN dan investor di dalam proyek PLTU serta kejelasan sistem pembelian tenaga listrik dari perusahaan pembangkit kepada PLN.

“Sangat penting untuk memastikan kejelasan skema kerja sama yang akan dilakukan, apakah nantinya PLN atau perusahaan holding akan membentuk joint venture dengan investor dan bagaimana dengan persentase kepemilikan sahamnya. Yang menjadi kendala di lapangan selama ini adalah PLN diharuskan memiliki saham minimal 51% dan investor hanya bisa memiliki 49% saham di perusahaan pembangkit, padahal PLN meminta agar seluruh investasi dalam bentuk finansial harus disediakan oleh investor,” tutur Yohanes.

Baca Juga  PB IDI: Kasus Covid-19 di Wilayah Pulau Jawa Telah Mengalami Penurunan

Menurutnya, kebijakan ini sebaiknya tidak diberlakukan lagi di dalam skema yang akan diusulkan karena akan membuat penawaran tersebut tidak lagi atraktif bagi investor dan, yang terutama, tidak bankable. Sementara itu, kejelasan sistem pembelian tenaga listrik dari perusahaan pembangkit kepada PLN perlu dipastikan karena selama ini PLN tidak membayar tarif listrik lantaran PLTU-PLTU tersebut dioperasikannya sendiri setelah selesai dibangun.

“Dengan adanya privatisasi, harus dipikirkan bagaimana mengatur tarif listrik dan mekanisme pembayaran oleh PLN kepada perusahaan pembangkit. Apakah nantinya akan dilakukan secara take or pay atau take and pay. Satu sisi, kita ingin agar kebijakan yang diambil membuat penawaran tetap menarik dan bankable. Di sisi lain, kita juga tidak ingin merugikan PLN sebagai offtaker,” pungkas Yohanes. (*/cr2)

Sumber: beritasatu.com