Blitar – Pandemi COVID-19 memaksa semua orang terus bergerak demi bertahan hidup, dalam segala keterbatasan. Seperti Sugeng yang harus banting setir dari sopir jadi pengamen Jaranan.
Pria 72 tahun itu masih tegap berjalan di aspal panas jalanan Kota Blitar. Memakai pakaian penari Jaranan lengkap dengan topengnya, Sugeng berjalan sambil menarik kotak pengeras suara. Gamelan Jaranan terus terdengar sepanjang langkah kaki warga asli Jodipan, Kota Malang ini.
Setahun lalu, Sugeng mengajak istrinya tinggal di rumah kos di Kelurahan Sukorejo, Kota Blitar. Dia berniat kembali berkesenian, setelah pemilik angkot Malang-Blitar memintanya tidak menjadi sopir dulu karena sepinya penumpang. Wabah Corona seketika mengubah jalur hidupnya, walaupun masih sama. Tetap menyusuri jalanan kota.
“Saya cepat memutuskan harus kerja apa. Kalau hanya diam menanti apalagi mengandalkan bantuan, itu bukan jaminan untuk tetap hidup. Pokok obah mesti mamah (asal bergerak pasti bisa makan),” ucapnya ketika bertemu detikcom, Jumat (23/4/2021).
Berbekal kemampuannya menari Jaranan sewaktu masih muda, Sugeng kemudian hijrah ke Kota Blitar. Dipilihnya kota ini, selain jaraknya relatif dekat dengan Malang, warga Blitar dinilainya masih suka menikmati pementasan tari pengamen Jaranan.
Dia bersama istrinya tinggal di rumah kos yang tarif sewanya Rp 350 ribu per bulan. Layaknya orang kerja kantoran, sejak pukul 06.00 WIB, Sugeng dibantu istrinya sudah siap berdandan seperti penari Jaranan. Wajahnya yang mulai menampakkan guratan usia tua dipoles bedak, alisnya dibentuk memanjang. Tidak lupa polesan lipstik murahan digoreskan tebal di bibirnya.
Pukul 07.00 WIB, Sugeng mulai keluar kos dan berjalan menyusuri gang sempit menuju jalan raya. Walaupun usianya memasuki senja, namun tapak kakinya nampak kuat melangkah walaupun tanpa alas kaki.
“Semua juga bilang saya awet muda. Mungkin karena kebiasaan saya jalan jauh tanpa alas kaki ini ya. Mosok ono jaranan gawe sepatu Mbak,” jawabnya.
Begitu ada orang yang membawa anak kecil dan tertarik melihat dandanannya, Sugeng berhenti untuk menari. Mereka pun kemudian memberikan uang tanpa Sugeng minta. Begitu terus yang dilakukannya sampai waktu menjelang petang. Jika jatah rezekinya banyak, dalam sehari Sugeng bisa membawa pulang Rp 50 ribu. Namun jika saatnya sedikit, pengamen Jaranan ini pernah membawa uang hanya Rp 10 ribu.
“Ada juga yang lihat saya dari jauh sudah nyuruh saya pergi. Tapi saya gak sakit hati. Namanya manusia beda-beda. Asal saya gak ngemis saja,” pungkasnya. (*/cr4)
Sumber : riau.siberindo.co