Jakarta – Danau Toba, danau terbesar di Asia Tenggara, memiliki beragam potensi ekonomi. Salah satu kegiatan ekonomi yang berkembang pesat di Danau Toba adalah budidaya ikan nila atau nila menggunakan keramba jaring apung (KJA). Penjualan ekonomi budidaya, khususnya ikan nila, bisa mencapai Rp 5 triliun per tahun
Namun demikian, seiring dengan kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan Danau Toba sebagai tujuan wisata super prioritas, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/213/KPTS/2017 tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba, serta SK Gub Nomor 188.44/209/KPTS/2017 mengenai Status Trofik Danau Toba. SK menyebut daya dukung Danau Tobauntuk KJA menjadi 10.000 ton per tahun, dengan tujuan agar kualitas air yang tercemar dapat terkendali.
SK tersebut menetapkan bahwa Danau Toba merupakan danau berstatus oligotrofik atau danau dengan kandungan zat hara yang sangat rendah. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya untuk memperbaiki atau mengembalikan kesuburan Danau Toba.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Rokhmin Dahuri menanggapi pembatasan total ikan nila dari KJA sebesar 10.000 ton per tahun menurutnya tidak akan menyelesaikan masalah. Justru, lanjut dia, kebijakan itu akan mengakibatkan berbagai masalah baru seperti puluhan ribu orang menganggur, negara kehilangan devisa Rp 1,5 triliun per tahun, kerugian ekonomi mencapai lebih dari Rp 5 triliun per tahun. Kemudian, penurunan ekonomi wilayah di sekitar Danau Toba di 7 kabupaten, serta memburuknya iklim investasi dan kemudahan berbisnis.
“Saya ungkapkan bahwa budidaya ikan nila di Danau Toba itu sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat, itu harusnya ditumbuh kembangkan, bukan untuk dimatikan,” kata Rokhmin dalam Webinar Forum Virtual Series, dengan tema ‘Potensi Ekonomi-Sosial Ikan Nila Untuk Masyarakat Toba’, Kamis (16/12/2021) dilansir beritasatu.com.
Menurut Rokhmin, sejatinya pariwisata dan aktivitas budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan bisa berdampingan dan berkembang bersama, dengan catatan ada pengaturan yang jelas. Kata dia, negara-negara lain seperti Jepang dan Malaysia dapat menjadikan KJA sebagai obyek wisata.
Ia pun memberikan beberapa rekomendasi terkait pengelolaan KJA Danau Toba. Diantaranya, pembatasan produksi ikan nila dari budidaya dalam KJA rata-rata 55.000 ton per tahun, sesuai perhitungan daya dukung Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2018.
Kemudian, semua aktivitas budidaya KJA harus ramah lingkungan dan memiliki sertifikat Cara Budidaya Ikan yang baik dan Benar (CBIB), serta sertifikasi dari lembaga internasional untuk pasar ekspor. Lalu, Zonasi lokasi KJA juga sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perairan Danau Toba yang disepakati oleh semua stakeholder utama. Serta, diberlakukan juga pembagian zonasi, baik zonasi untuk lokasi budidaya perikanan, industri lainnya maupun pengembangan pariwisata.
“Jadi, kalau ada sektor yang sudah terbukti sebagai pertumbuhan ekonomi, memberikan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan, Tidak seharusnya dihilangkan,” ucap Rokhmin.
Guru Besar IPB, sekaligus Ketua Tim Riset Care LPPM IPB University tentang resolusi konflik dalam penanganan sumber daya alam Danau Toba, Manuntun Parulian Hutagaol mengungkapkan terdapat banyak entitas yang dapat memberikan dampak pada lingkungan, seperti sungai-sungai kecil yang berjumlah lebih dari 100 sungai, industri perikanan, perhotelan, resto, pemukiman penduduk, pertanian hingga pasar.
Oleh karenanya, kata dia, industri KJA Danau Toba perlu dipertahankan karena memberikan dampak maupun kontribusi besar pada perekonomian di Kawasan Danau Toba. Salah satunya, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta sebagai pondasi keberagaman basis perekonomian masyarakat Toba. Ia mengatakan, angka kemiskinan di Danau Toba sekitar 10% dan pendapatan rata-rata per kapita per tahun mereka jauh di bawah rata-rata nasional.
“Jadi memang betul-betul dibutuhkan suatu kegiatan ekonomi, pariwisata dan industri lainnya itu untuk menggerakan perekonomian Danau Toba, sehingga kemiskinan yang terjadi di sana bisa segera teratasi. Seperti saya temukan dari literatur, bahwa kemiskinan adalah musuh lingkungan dan faktor penting di balik kerusakan lingkungan,” ujar Parulian.
Selain itu, dalam kondisi sekarang ini menurutnya tidak mungkin perairan Danau Toba diupayakan menjadi Oligotropik. Sebab, secara teknis sangat sulit memperbaiki dari status eutropik ke status oligotropik.(*?/cr2)